1. SISTEM POLITIK DI
INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN MASA
REFORMASI
Sistem politik di Indonesia
Indonesia memiliki sistem politik demokrasi, tetapi
yang diterapkan tidak seperti
negara lain yang menggunakan sistem demokrasi, melainkan demokrasi yang sesuai dengan bangsa
Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila. Menurut Dardji Darmadiharjo, Demokrasi Pancasila
merupakan paham demokrasi yang bersumber
pada
kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
a. Perkembangan sistem politik di Indonesia Sistem politik demokrasi di
Indonesia mengalami pasang runtuh sejak
berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem politik Indonesia telah mengalami
perubahan-perubahan, baik sebelum amendemen UUD 1945 maupun sesudah adanya amendemen UUD
1945. Sejak merdeka, perkembangan
politik di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Sistem politik Indonesia sebelum Amendemen UUD
1945 Perkembangan politik dan sistem
politik suatu negara dapat disimpulkan,
salah
satunya, dari perkembangan partai-partai politiknya. Perkembangan partai politik di Indonesia dimulai
sejak zaman Belanda. Ini menjadi
manifestasi
bangkitnya kesadaran nasional. Pola kepartaian pada masa itu menunjukkan keanekaragaman, ada
yang bertujuan sosial (Budi Utomo dan
Muhammadiyah),
ada yang menganut asas politik berdasarkan agama, seperti Masyumi, Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai
Kristen
Indonesia (Parkindo), dan ada juga partai-partai yang mendasarkan diri pada suatu ideologi tertentu,
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang
berasaskan nasionalisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berasaskan komunisme. Di masa
penjajahan Jepang, kegiatan partai politik
tidak
diperbolehkan, kecuali pembentuk partai golongan Islam (Masyumi).
Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia
disebabkan karena tumbangnya orde baru sehingga membuka peluang terjadinya
reformasi politik di Indonesia pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena adanya wacana suksesi yang
sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan rezim Soeharto dimana
didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi dan juga desakan dari
parlemen beserta mendurnya beberapa menteri dari kabinet saat itu. sehingga
bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni
proses pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana kebebasan rakyat
terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif
dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Setelah Soeharto mundur maka BJ. Habibie kemudian
dilantik sebagai presiden menggantikan presiden Soeharto dan segera membentuk
sebuah kabinet. Salah satu hal yang dilakukan oleh Habiebie saat itu adalah
mepersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi,
seperti : mengesahkan UU partai politik, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang lain adalah
pengahapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat
sangat terbuka luas, namun demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini
membuat masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara,
bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri,
masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat Timor Leste seakan
mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya
dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa
orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil
kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan
masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat
Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala
negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak.
Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi. dan Seharusnya Pemeritah
melakukan terlebih dahulu Pembangunan nilai demokrasi yang diawali dari
pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi
sebenarnya dan menggunakannya dengan benar.
Setelah masa Pemerintahan dari Bj.Habibie maka
masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman Wahid-Megawati secara legalitas
formal telah lahir periode baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Era
Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan digantikan Orde Reformasi. Hadirnya
Orde Reformasi seperti halnya awal-awal kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru
rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde Reformasi dapat mewujudkan masyarakat
adil dan makmur.
Pasangan Gus Dur-Megawati sebenarnya dinilai ideal
dilihat dari aspek wawasan. Gus Dur adalah seorang santri tradisional yang
memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan, sementara Megawati adalah
seorang nasionalis yang juga memiliki wawasan Islam modern. Duet Gus
Dur-Megawati lalu membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dilantik tanggal 28
Oktober 1999. Terlepas dari adanya kekecewaan karena dihapuskannya Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, cabinet ini mendapat dukungan dari berbagai
kalangan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Abdurrahman Wahid
mangalami banyak persoalan pada masa Orde Baru. Persoalan yang sangat menonjol
adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemulihan ekonomi, masalah
BPPN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah
jarinagn pengaman social (JPS), munculnya masalah disintegrasikan, konflik
etnis dasar umat beragama, penegakan hokum dan penegakan hak asasi manusia
(HAM).
Belum genap 100 hari berkuasa dan belum tuntasnya
penyelesaian persoalan-persoalan peninggalan Orde Baru, pemerintahan Gus Dur
dihadapan pada persoalan-persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan
sangat controversial. Kebijakannya antara lain:
1. Pencopotan Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi
yang dianggap sebagai orangnya Habibie.
2. Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI
Sudrajat yang dilatari oleh pernyataannya bahwa Presiden bukan Pangganti TNI.
Penggantinya adalah Marsekal Muda TNI Graito. Penggantian ini cukup mengagetkan
karena diambilkan dari TNI AU, yang selama 32 tahun terakhir tidak pernah
mndapatkan jabatan strategis di jajaran TNI.
3. Pencopotan Wiranto sebagai Menko Polkan
dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis antara Wiranto dan Gus Dur
arena Gus Dur mengijinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Penyelanggara (KPP) HAM
di Timor Timur
4. Mengeluarkan pengumuman tantang adanya
menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang terlibat KKN. Pengumuman ini
sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Tampak beberapa menteri merasa sulit
melakukan koordinasi di antaranya Laksamana SDukardi dan Kwik Kian Gie. Mereka
kesulitan melakukan koordinasi dengan Memperindag Jusuf Kalla yang menghadapi
tudingan KKN.
5. Gus Dur menyetujui nama Papua sebagai ganti
Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Gus Dur bahkan menyetujui pula pengibaran
bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua. Atas kebijakan yang menguntukan
ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Eluay menyelenggarakan
Kongres Rakyat Papua (Mei-Juni 2000)dan menetapakn tanggal 1 Desember (hari
berakhirnya pendudukan Belanda 1962) menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.
Selain penilaian bahwa kebijakan Gus Dur
Kontroversial, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan Gus Dur dianggap
berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk di dalamnya
urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan Gus Dur berdasarkan bisikan
kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara. Dalam suasana sikap pro
dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Gus Dur, muncul kasus Bruneigate.
Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan
kredibilitas rakyat terhadap Gus Dur semakin turun drastis. Ketua MPR, Amien
Rais yang dulu sangat bersemangat mendukung Gus Dur berbalik arah. Skandal
Bruneigate dan pengangkatan wakil Kapolri, Kamjen (Pol) Chaeruddin menjadi
pemangku sementara jabatan kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu
konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti
dengan dikeluarkannya Memorandum I buat Presiden Gus Dur pada tanggal 1
Februari 2001 yang disusul Memorandum II pada tanggal 30 April 2001. Presiden
Gus Dur memang terkenal dengan sikapnya yang controversial, bukan dating
memberi laporan pertanggungjawaban , melainkan pada pukul 01.05 WIB
mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya antara lain membekukan lembaga MPR
dan DPR.
Pada saat yang sama MPR melalui ketua Amien Rais
secara tegas menolak dekrit yang dibuat Presiden Gus Dur. Langkah yang diambil
Gus Dur menjadikan dirinya semakin tidak popular dan mempercepat proses
kejatuhannya dari kursi kepresidenan. Apalagi ternyata dekrit tersebut tidak
mendapat dukungan dari TNI dan Polri.
Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi
ketika MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai
Presiden Gus Dur telah melanggar Tap No. VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen
(Pol) Chaeruddin sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri.
Kemudian Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli
2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Meski
ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah
yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak
menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata
masyarakat Indonesia, menurun seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan
sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin
membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang 'dingin'. Sejak kenaikan Megawati
sebagai presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam, beberapa
peledakan bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari
kancah internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir
Indonesia menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung pertamanya.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam
memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan
untuk terpilih kembali sebagai Presiden. Ujian berat dihadapi Megawati untuk
membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo
Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.
Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal,
menarik perhatian masyarakat dengan pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan
menjanjikan perubahan kepada Indonesia. Pemilihan putaran pertama menyisihkan
kandidat lainnya sehingga yang tersisa tinggal Megawati dan SBY. dan yang
memenangkan pemilu untuk periode 2004-2009 adalah SBY, kemudian untuk periode
2009- hingga sekarang pemerintahan juga masih dipegang oleh SBY dan partainya
Demokrat.
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan
dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69
berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante
melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi
terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS
1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah
UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan
struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem
“Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai
oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah
yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar,
tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas
objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara
baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian
muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin”
dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem
multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi
mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII
yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu
1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara
perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini
berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
1)
Gerakan
separatis pada tahun 1957
2) Konflik ideologi yang tajam yaitu
antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang
Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan
theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara
Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli
1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional
yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata
politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut
dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli
1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun
1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI
pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat
berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
2. OTONOMI DAERAH (UU, PENGERTIAN, KELEBIHAN DAN KEKURANGAN, KEBERHASILAN
OTONOMI DAERAH, DLL)
UU otonomi daerah
UU otonomi daerah di Indonesia merupakan dasar hukum
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia
merupakan payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah
seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan
seterusnya.
UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi
dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan
pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan
pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi
pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi
dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah
undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera
setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah
mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia
mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang
besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di
Indonesia.
Pengertian otonomi daerah
Pengertian Otonomi Daerah menurut F. Sugeng
Istianto, adalah:
“Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah”
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah
dapat dikemukakan sebagai berikut ini.
a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat
pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak
yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu
intruksi dari Pemerintah pusat.
c. Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan
pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi
kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda
menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
d. Dengan adanya desentralisasi
territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal
yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh
negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara,
sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan
oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
e. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan
dari Pemerintah Pusat.
f.
Dari
segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan
yang lebuh beser kepada daerah.
g.
Akan
memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah
juga mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara
lain sebagai berikut ini.
a. Karena besarnya organ-organ pemerintahan
maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
b. Keseimbangan dan keserasian antara
bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
c. Khusus mengenai desentralisasi teritorial,
dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau
provinsialisme.
d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang
lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
e. Dalam penyelenggaraan desentralisasi,
diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau
uniformitas dan kesederhanaan.
Keberhasilan otonomi daerah
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan
beberapa ukuran sebagai berikut:
Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu
menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung
jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas,
wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.
Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan
tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral,
disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat
agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud
pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber
dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi
dapat dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor
manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor organisasi dan
manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan,
serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan.
Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai
faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk
dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga,
peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar
kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan
baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat
berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana
yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem
pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau
dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat
berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila
manusia sebagai subyek sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan
keuangan daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang
menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat
penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan
pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara
buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam
menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada
pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya.
Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke
muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik
untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik
pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu
setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan
pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah
daerah untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat
komunikasi dan lain-lain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut
tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan
dari aparat yang menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu
organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan
satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama
lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan proses manusia
yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah
ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap
penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa
baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah
yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak
sebagai manajer daerah.
http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/keberhasilan-otonomi-daerah.html